Definisi Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove sering disebutkan sebagai hutan payau atau hutan bakau. Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai atau muara sungai didaerah tropis dan sub tropis yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak. Bila dibandingkan dengan ekosistem hutan yang lain, maka ekosistem mangrove memiliki flora dan fauna yang spesifik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Hutan mangrove adalah merupakan jenis-jenis hutan yang terdapat di tepian pantai atau berkembang di sekitar muara sungai, salah satu contoh adalah hutan bakau. Fungsi hutan bakau seperti akar dari pohon bakau ada yang mencuat ke atas (akar tunjang) dan ada pula yang terendam air. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Hutan Mangrove adalah Komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”Mangue” dan bahasa Inggris ”grove”. Dalam Bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau. Mangrove di Indonesia mempunyai keragamanan jenis yang tinggi. Tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan yang terdiri dari 35 jenis berupa pohon, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 5 jenis terna, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit. Berupa pohon dianataranya adalah bakau (Rhizophora), Api-api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops), buta-buta (Exocoercaria). Mangrove beradaptasi secara struktural dan fisiologis terhadap lingkungan hidupnya. Mangrove hidup di daerah yang memiliki perubahan salinitas yang cukup tajam, berdasar lumpur dan dipengaruhi ombak yang relatif kecil. Oleh karena itu, mangrove beradaptasi terhadap adanya tekanan salinitas, tanah berlumpur yang tergenang air dan sedimen yang tidak mengandung oksigen (Soegianto, 2010).
Ekosistem mangrove juga merupakan suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau. Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies. Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik. Komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah (Utomo, 2017).
Hutan bakau Indonesia termasuk dalam salah satu yang paling luas di dunia yaitu sekitar 47,8% (8,6 juta hektar) dari 18 juta hektar hutan bakau di seluruh dunia. Namun kini banyak hutan bakau yang telah rusak bahkan musnah. Dikarenakan adanya aktivitas penebangan pohon bakau untuk dibuat tambak ikan atau arang. Penyebaran hutan bakau antara lain di sepanjang pantai timur Sumatera, pantai selatan Kalimantan, pantai utara Jawa, dan lainnya. (Huda, 2008).
Dengan banyaknya instansi yang terlibat dalam mengelola hutan mangrove juga menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya tumpang tindih kebijakan. Konflik sektoral pun semakin tajam karena adanya kecenderungan saling lempar tanggung jawab. Dampaknya adalah rusaknya hutan mangrove hampir di seluruh pesisir Indonesia. Beberapa data menunjukkan bahwa kerusakan dan penyusutan luas hutan mangrove Indonesia terusterjadi. Pada tahun 1982 Indonesia masih memiliki 5.209.543 ha hutan mangrove, namun di tahun1992 jumlahnya telah menjadi 2.496.185 ha. Pada tahun 1985, pulau Jawa telah kehilangan 70%hutan mangrovenya. Luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan berkurang dari 110.000 ha padatahun 1965 menjadi 30.000 ha pada tahun1985. Sedangkan Teluk Bintuni (Papua) masih terdapat 2300.000 ha mangrove, namun kini terus menerus mengalami tekanan, sebagaimana terjadi pula didelta Sungai Mahakam dan pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (desakuhijau, 2011).
B. Analisis Swot Hutan Mangrove
Strength (Kekuatan)
Hutan mangrove merupakan vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembangbaik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove terletak di pesisir dan berfungsi sebagai daerahpenyambung antara darat dan laut. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yangsangat bermanfaat bagi umat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenisikan dan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya.
Menurut Supriharyono (2000), mangrove bagi kehidupan manusia sangatlah berarti. Banyak potensi-potensi yang dihasilkan oleh mangrove bagi kehidupan laut maupun manusia. Berikut merupakan fungsi-fungsi dari mangrove antara lain :
Membuat wilayah pantai stabil
Akar dari pohon bakau dapat menjaga wilayah tepian pantai tetap stabil. Ombak yang menghantam bisa ditangkal oleh akar-akar tanaman bakau yang mencuat ke permukaan sehingga pantai terhindar dari pengikisan (abrasi).
Memberikan nutrisi bagi makhluk hidup di sekitarnya
Adanya hutan bakau dapat memberikan nutrisi kepada ikan-ikan dan binatang yang hidup di perairan hutan tersebut. Tak hanya itu, hutan bakau dapat memberi mereka perlindungan dari hewan pemangsanya.
Awal rantai makanan
Daun-daun bakau yang rontok atau jatuh akan masuk ke air dan diuraikan oleh mikroorganisme yang berupa bakteri atau jamur agar tidak menjadipenyebab pemanasan global. Hasil dari penguraiannya adalah makanan bagi larva dan hewan-hewan kecil di sekeliling hutan bakau. Hewan kecil dan larva tersebut dapat menjadi makanan hewan lebih besar yang habitatnya juga di sekitar hutan bakau.
Menambatkan kapal
Ketika cuaca buruk terjadi, pohon bakau dapat menjadi pelindung bagi kapal yaitu dengan cara mengikat kapal ke batang bakau. Akan tetapi jangan sering-sering dilakukan karena bisa membuat batang tanaman bakau rusak dan akan memberikan dampak akibat kerusakan hutan.
Penjernih air
Akar yang mencuat ke permukaan (akar tunjang) tidak hanya berfungsi sebagai alat pernapasan pohon bakau, tetapi juga mampu menyaring zat-zat kimia, polutan, endapan yang terkandung dalam air laut sehingga menjadi jernih dan bersih. Air sungai yang masuk ke laut kebanyakan membawa berbagai macam sampah yang menjadi penyebab banjir dan zat kimia. Dengan adanya hutan bakau di sekitar perairan tersebut, maka kebersihan air di pantai akan terjaga.
Pengawet dan pewarna
Buah pohon tancang berguna untuk mengawetkan dan memberi warna kain atau jaring. Air rebusan buah ini memberi efek warna cokelat tua atau cokelat kemerahan pada kain batik. Air rebusan dari kulit pohon tingi bisa dipakai sebagai pengawet jaring payang (oleh nelayan daerah Labuhan, Banten).
Bahan makanan
Daun pohon api-api yang masih muda bermanfaat untuk diolah menjadi sayur. Sedangkan daun lain dari api-api bisa jadi pakan ternak. Buahnya pahit, akan tetapi masih bisa dikonsumsi bila dimasak dengan baik dan hati-hati. Nektar bunga api-api dihisap oleh tawon-tawon dan dapat menjadi madu.
Bahan bakar dan bangunan
Kayu pohon mangrove bisa dipakai sebagai kayu bakar atau arang. Jika sudah cukup besar, berguna untuk bangunan rumah (sebagai tiang atau balok konstruksinya). Sangat cocok sebagai balok konstruksi rumah karena sifat kayunya yang tahan air dan kokoh.
Obat
Tanaman mangrove dapat digunakan untuk membuat aneka macam obat-obatan. Mengobati radang kulit dan gatal-gatal dapat memakai campuran kulit batang beberapa spesies mangrove. Tanaman ini juga bermanfaat mengatasi gangguan pencernaan, rheumatik, dan gigitan ular.
Menahan air asin supaya tidak merembes ke darat
Adanya hutan atau pohon-pohon bakau dapat menjadi benteng agar air asin tidak merembes jauh ke daratan. (baca : manfaat pasang surut air laut)
Pariwisata
Luasnya hutan bakau yang masih alami dapat dikelola dengan baik sehingga menjadi destinasi wisata yang menarik dan banyak orang yang mengunjungi kawasan mangrove ini untuk berlibur bersama keluarga atau teman-terdekat.
Tempak berkembangbiak dan berlindung aneka hewan dan ikan
Udang, ikan kecil, dan kepiting banyak yang tinggal di wilayah perairan hutan bakau. Mereka dapat berkembangbiak dengan baik dan terhindar dari predator (hewan pemangsanya), juga ombak kuat.
Menurut Suparinto (2007), hutan mangrove mempunyai beberapa keterkaitan dan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan manusia baik fungsinya dalam penyediaan bahan pangan, papan, dan kesehatan, serta kontribusinya terhadap lingkungan. Fungsi hutan mangrove itu sendiri dibagi yaitu fungsi fisik, fungsi kimia, fungsi biologi.
Fungsi Fisik
Fungsi fisik hutan mangrove menegaskan bahwa secara fisik, hutan mangrove mempunyai fungsi yang sangat pentin. Fungsi paling utama dari ekosistem hutan mangrove adalah menjaga kestabilan garis pantai. Hal ini tentu saja sangat penting karena apabila garis pantai tidak terjaga dengan baik, maka garis pantai lama-lama akan terkikis oleh gelombang air laut. Kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan rusaknya lokasi pantai karena abrasi pantai sehingga daratan akan menyempit karena terkikis. Melindungi pantai dari dan abrasi. Abrasi merupakan proses pengikisan tanah atau daratan oleh gelombang air laut. Proses ini terjadi ketika air laut terbawa angin ke daratan dan kembali lagi ke laut dengan membawa material-material daratan seperti tanah atau pasir. Jika terus-terusan dibiarkan, maka dataran akan semakin terkisis dan menyempit, maka dari itu dibutuhkan hutan mangrove yang juga menjadi barikade terdepan dalam mencegah abrasi pantai secara berkelanjutan.
Selain menjaga kestabilan garis pantai dan mencegah abrasi, hutan mangrove juga berfungsi untuk menahan sedimen sehingga jika terjadi secara terus-menerus, maka akan menumbuhkan lahan baru atau memperluas daratan. Hal ini dapat terjadi karena sistem perakaran mangrove yang sangat rapat dan lebat dapat menahan atau memerangkap sedimen yang terbawa oleh air laut.
Fungsi Kimia
Selain fungsi fisik, hutan mangrove memiliki fungsi secara kimia dimana hal ini berhubungan dengan bagaimana hutan mangrove berperan dalam kegiatan yang bersifat kimiawi penghasil oksigen & penyerap karbon dioksida Hutan mangrove mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk seperti yang terjadi pada kebanyakan ekosistem hutan lain. Selain dapat menghasilkan dari proses fotosintesis, hutan mangrove juga dapat menyerap lebih banyak karbon dibanding ekosistem hutan lainnya karena tumbuhan pada hutan mangrove memiliki lebih banyak daun sehingga lebih banyak menyerap karbon dalam jumlah yang lebih banyak, dan melepaskan karbon lebih sedikit ke atmosfer (baca: fungsi atmosfer, lapisan atmosfer) .
Fungsi biologi
Berkaitan erat dengan bagaiman hutan mangrove berperan dalam hal yang berkaitan dengan lingkungan biologinya. Fungsi biologi hutan mangrove yang pertama adalah sebagai salah satu bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi invertebrata pemakan bahan pelapukan, yang juga berfungsi sebagai makanan bagi hewan-hewan yang lebih besar seperti ikan laut, udang, juga binatang laut lainnya. Hutan mangrove berfungsi juga sebagai kawasan asuhan atau pemijahan bagi hewan-hewan yang biasa berkembang biak dan tumbuh di area hutan mangrove seperti udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya sebelum akhirnya dilepas kemabli ke hutan setelah dewasa.
Banyak sekali hewan-hewan yang menjadikan hutan mangrove tempat persinggahan hingga menjadikannya tempat berkembang biak. Selain itu hutan mangrove menjadi habitat bagi banyak burung-burung langka seperti kera ekor panjang, dan juga buaya rawa. Selain itu ada juga harimau bengal, kijing bintik, kancil, dan satwa-satwa liar lain yang pertumbuhannya jarang dan terancam mengalami kepunahan.
2. Weakness (Kelemahan)
Beberapa tahun terakhir ini, khususnya di Pulau Jawa hutan mangrove dijadikan sasaran manusia untuk dijadikan berbagai macam aktivitas, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Berkaitan dengan kepentingan dan kelestarian daerah perairan pesisir, pengrusakan atau pengurangan areal hutan mangrove mempunyai dampak terhadap beberapa komponen yang pada akhimya semua biota yang hidup di perairan sekitar hutan mangrove tersebut akan punah. Seiring berjalan waktu yang terus menerus menyebabkan jumlah manusia yang ada dibumi menjadi bertambah, pertambahan jumlah manusia tersebut tentunya membutuhkan terpenuhinya kebutuhan baik sandang, pangan dan papan, sehingga perlunya alih fungsi hutan mangrove. Alih fungsi hutan mangrove yang tidak memperhatikan fungsi ekologi dan konservasi hutan mangrove (Onrizal, 2002).
Menurut Zainatun (2002), faktor-faktor yang mengakibatkan rusaknya hutan mangrove akibat dari alih fungsi hutan mangrove adalah:
Faktor Alam
Salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove, tetapi hal ini bersifat sekunder. Bersifat sekunder artinya faktor penyebabnya jarang terjadi atau sewaktu-waktu dan wilayah kerusakannya relatif sempit, yaitu:
Angin topan, dapat merusak dengan mencabut pohon-pohon bakau sampai keakarnya atau oleh pengendapan yang masif atau mengubah salinitas air dan tanah.
Gelombang tsunami, dapat merusak sehingga pohon-pohon bakau dapat tercabut dari akarnya.
Organisme isopoda kecil, yaitu Sphaeroma terebrans. Isopoda ini merusak akar penunjang bakau dengan cara melubanginya, sehingga pohon-pohon bakau menjadi tumbang.
Faktor Manusia
Salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove yang bersifat primer. Bersifat primer artinya faktor penyebabnya terjadi setiap saat dan wilayah kerusakannya luas.
Konversi alih fungsi hutan mangrove, konversi ini didasarkan pada kepentingan ekonomi semata tanpa memperhatikan fungsi ekologi. Konversi hutan mangrove itu sendiri, hanya akan merusak fungsi hutan mangrove baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Ekploitasi yang berlebihan terhadap hutan mangrove yang dilakukan untuk keperluan kayu, kayu bakar, kertas, kayu lapis, tatal, bubur kayu, arang maupun yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian, pertambakan, penambangan dan pemukiman pada akhirnya mempunyai dampak negatif terhadap sumber daya alam tersebut.
Pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang belum terarah. Dalam era reformasi ini, pemerintah daerah melalui otonomi daerah, belum secara serius mengelola dan memanfaatkan wilayah pantai terutama hutan mangrove.
Penegakkan hukum yang lemah. Hal ini disebabkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hayati hutan bakau tanpa memperhatikan fungsi ekologi dan konservasi, tidak ditindak tegas secara hukum, sehingga mereka bebas mengeksploitasi hutan bakau tanpa terkontrol.
Rusaknya vegetasi mangrove di beberapa daerah disebabkan oleh pemanfaatan kayu mangrove secara intensif untuk kayu bakar dan bahan bangunan oleh penduduk setempat yang dimulai sejak lama. Selain itu, proses tebang pilih yang salah juga dapat menimbulkan kerusakan ekosistem.
Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata dan lain-lain), tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
Pembuangan limbah produksi ataupun rumah tangga terkadang di buang ke sungai, yang pada akhirnya bermuara di perairan hutan bakau.
3. Oportunity (Peluang)
Menurut Suparinto (2007), terdapat beberapa peluang dari sumber daya ekosistem mangrove antara lain sebagai berikut :
Hutan mangrove banyak dimanfaatkan untuk destinasi wisata
Sekarang ini sedang menjamur destinasi wisata dengan background dan tema utama hutan mangrove. Kekreatifan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar dengan mendadani area hutan mangrove dengan maksimal, ternyata membawa mereka untuk berpeluang mendapatkan penghasilan tambahan melalui hasil dari pembukaan tempat wisata yang murah, tapi menarik dan nyaman untuk dinikmati.
Banyak tempat wisata baru yang menyuguhkan keindahan hutan mangrove melalui jembatan-jembatan kecil yang menghubungkan akses luar hutan mangrove sampai ke akses dalam hutan mangrove. Sehingga keindahan hutan mangrove bisa dieksplore oleh setiap orang.
Hutan mangrove banyak digunakan untuk konservasi, penelitian ataupun pendidikan
Fungsi hutan mangrove poin ini sangat menarik. Selain digunakan untuk destinasi wisata guna menggali lebih dalam hal apa saja yang terdapat di hutan mangrove, maka seringkali hutan mangrove dimanfaatkan sebagai tempat untuk konservasi, penelitian dan juga pendidikan. Hal ini akan lebih menguntungkan karena pengunjungnya akan datang sekaligus banyak dalam satu waktu yang bersamaan. Dengan dijadikannya hutan mangrove sebagai tempat konservasi, penelitian ataupun pendidikan, berarti akan membawa manfaat baik bagi si pengunjung ataupun segala aspek yang ada di dalam hutan mangrove tersebut. Karena secara tidak langsung penelitian akan membawa manfaat baik bagi bahan yang diteliti.
Budidaya Udang, Ikan, Kepiting
Banyak orang yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove untuk budidaya udang, ikan dan kepiting. Udang cenderung nyaman dan bisa berkembang biak dengan baik, karena banyak area hutan mangrove bisa digunakan untuk sembunyi dari musuh. Hutan mangrove juga menyediakan banyak makanan bagi udang.
Ada juga yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat budidaya kepiting dan ikan. Selain tempat yang digunakan gratis, makanannya pun juga gratis sehingga biaya operasional yang dikeluarkan sangatlah kecil. Hanya bermodalkan bibit saja sudah memperoleh hasil yang cukup menjanjikan.
Ikan dan kepitingpun juga merasa lebih nyaman dan aman hidup di area hutan mangrove. Jadi hutan mangrove memang sangat membantu menghidupi dan menjalankan roda perekonomian masyarakat yang berada di sekeliling hutan mangrove. tersebut.
4. Threats (Ancaman)
Terdapat beberapa ancaman dari pengelolaan sumber daya ekosistem mangrove sebagai berikut :
a. Ancaman Kerusakan Hutan Mangrove di Beberapa Daerah
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto dalam Onrizal, 2002). Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Berdasarkan luasnya kawasan, hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia (FAO, 1982). Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. bahwa pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,7 juta ha, dimana sekitar 1,3 juta ha sudah disewakan kepada 14 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Menurut media Kompas dalam Onrizal (2002), menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Sumatera Barat 36.550 ha, tersebar di kabupaten Pasaman (3.250 ha) dengan tingkat kerusakan 30%, Kabupaten Pesisir Selatan 325,7 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Kepulauan Mentawai 32.600 ha dengan tingkat kerusakan 20%, Kabupaten Agam 55 ha dengan tingkat kerusakan 50%, Kota Padang 120 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten Padang Pariaman 200 ha dengan tingkat kerusakan 80%. Tingkat kerusakan hutan mangrove di Sumatera Barat adalah 53,34%. Akibatnya terjadi penurunan hasil tangkapan ikan menjadi hanya 8.320 ton/tahun. Data lain menyebutkan bahwa luas hutan mangrove di Sumatera Barat adalah 39.832 ha.
Pengrusakan hutan bakau di beberapa daerah dapat mengakibatkan berbagai macam bencana ekologi. Sampah-sampah di perairan Teluk Balikpapan misalnya mengakibatkan pendangkalan teluk yang mengganggu perahu-perahu yang melintas di sana. Pembukaan lahan kawasan bakau oleh pemerintah menimbulkan erosi, sedimentasi, intrusi air laut dan gelombang besar di Teluk Balikpapan serta sungai-sungai di sekitarnya. Gas karbon dan emisi gas rumah kaca di Balikpapan langsung dilepaskan ke atmosfer akibat berkurangnya pengikatan gas tersebut oleh hutan bakau. Produksi ikan di perairan Teluk Balikpapan menjadi berkurang drastis karena kerusakan hutan bakau dan terumbu karang yang merupakan tempat berkembangnya "bayi" biota laut sehingga berdampak pada kehidupan ekonomi nelayan setempat.
Kekawatiran terus menurunnya kondisi hutan mangrove juga terjadi pada hutan mangrove di daerah pesisir pantai Pulau Jawa, termasuk di pesisir pantai Jawa Barat dan Banten. Fenomena ini, jelas akan mengakibatkan kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir, dimana hutan mangrove itu berada serta menurunnya, bahkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi dan manfaat hutan mangrove yang rusak harus dilakukan kegiatan rehabilitasi dengan terlebih dahulu mengetahui kondisi kerusakannya.
Kegiatan masyarakat pantai mengenai eksploitasi hutan yang berlebihan, pada akhirnya akan memanfaatkan hutan mangrove secara tidak ramah lingkungan, dampaknya hutan mangrove akan terdegradasi dan rusak, bahkan sumber daya alam tersebut akan punah. Menurut beberapa sumber kerusakan ekosistem yang sudah mulai terancam berada di daerah pantai utara Pulau Jawa, Cilacap, Madura, Indragiri hilir (Riau), Luwu (Sulawesi Selatan), pantai barat Pulau Lombok, Paso dan Tawiri (Ambon), Sidangoli (Halmahera).
Sedangkan dampak dari tebang habis (clearcutting) terhadap hutan mangrove akan menyebabkan terjadinya abrasi secara intensif di sepanjang pantai, dan reboisasi alami umumnya tidak berjalan dengan baik, sehingga akan menimbulkan penurunan nilai hutan. Kondisi seperti ini dapat dilihat di sepanjang pesisir Indramayu (Jawa Barat), pesisir Pulau Lombok barat, pantai Tawiri (Ambon), pantai Waisiley (Halmahera) dan pantai Madura.
Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organik, minyak bumi dan lain-lain. Penurunan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir. Peningkatan abrasi pantai. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah dan bertelurnya biota laut. Akibatnya produksi tangkapan ikan menurun. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan tiupan angin, gelombang air laut dan lain-lain. Peningkatan pencemaran pantai. Selain itu menurut Suparinto (2007), terdapat dampak lain yang dapat imbasnya pada alam.
Erosi Pantai
Erosi pantai merupakan salah satu masalah serius degradasi garis pantai. Selain proses-proses alami, seperti angina, arus, hujan dan gelombang, aktivitas manusia juga menjadi penyebab penting erosi pantai. Kebanyakan erosi pantai akibat aktivitas manusia adalah pembukaan hutan pesisir untuk kepentingan pemukiman, dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsi perlindungan pantai.
Gangguan yang cukup besar terhadap hutan mangrove dapat menimbulkan erosi pantai, karena perlindungan yang diberikan oleh pohon-pohon mangrove sudah lenyap. Pantai pesisir akan berkurang dan tinggallah pantai sempit yang terdiri dari pasir atau kolam-kolam asin yang tak dapat dihuni. Maka pusat-pusat pemukiman pantai makin mudah diserang topan dan air pasang
Instrusi air laut
Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut kearah daratan sampai mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi payau atau asin. Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum dan dapat merusak akar tanaman. Instrusi air laut telah terjadi dihampir sebagian besar wilayah pantai Bengkulu. Dibeberapa tempat bahkan mencapai lebih dari 1 km.
Sedimentasi dan Pencemaran
Kegiatan pembukaan lahan atas dan pesisir untuk pertanian, pertambangan dan pengembangan kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Adanya penebangan hutan dan penambangan di daerah aliran sungai (DAS) telah menimbulkan sedimentasi serius di beberapa daerah muara dan perairan pesisir. Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai. Selain limbah pertanian, sampah-sampah rumah tangga dan kota merupakan sumber pencemar perairan pesisir dan laut yang sulit dikontrol.
Kegiatan pembuangan limbah pertanian, agro-industri dan limbah rumah tangga baik itu yang langsung ke hutan mangrove maupun lewat sungai, juga akan menimbulkan berbagai masalah terhadap eksistensi hutan mangrove. Berbagai limbah yang dibuang ke areal hutan mangrove tersebut, akan menurunkan kualitas lingkungan perairan, sehingga pada akhimya kehidupan biota akuatik akan terganggu. Limbah dan industri yang menggunakan senyawa-senyawa organik dan anorganik yang dibuang di sekitar perairan hutan mangrove, juga menyebabkan tumbuhan mangrove akan menggugurkan daunnya dan kemudian mati.
b. Ancaman Kerusakan Hutan Mangrove bagi Kehidupan Sosial Masyarakat
Hutan mangrove menjadi habitat yang menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuhan pada tanah galian. Kepunahan spesies yang disebabkan oleh perubahan bentuk (degradasi) hutan mangrove telah menyebabkan berbagai perubahan juga pada ekosistem hutan mangrove maupun masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi dengan tingkat endemismenya. Saat ini, ekosistem hutan mangrove mengalami ancaman berupa penebangan, fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Penebangan atau penggundulan hutan mangrove ini dapat mengganggu sumberdaya alam yang lain. Jika penggundulan hutan mangrove terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat (Pramudji, 2000).
Menurut Suparinto (2007), umumnya kerusakan atau kepunahan ekosistem hutan mangrove dapat disebabkan oleh penyebab-penyebab berikut:
Laju peningkatan populasi manusia dan konsumsi SDA (Sumber Daya Alam) yang tidak berkelanjutan;
Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan dan perikanan;
Sistem dan kebijaksanaan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan pada lingkungan dan sumberdayanya;
Ketidakadilan dalam kepemilikan, pengelolaan dan penyaluran keuntungan dari penggunaan dan pelestarian sumberdaya hayati;
Kurangnya pengetahuan dan penerapan;
Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi.
Masyarakat yang hidup di daerah pesisir dekat hutan mangrove secara langsung maupun tak langsung telah melibatkan diri terhadap keadaan ekosistem mangrove. Keseharian mereka tidak dapat dilepaskan dari ekoistem hutan mangrove. Pengrusakan serta pengurangan luas hutan mangrove di suatu daerah akan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di perairan sekitar daerah tersebut.
Hutan mangrove yang potensial dapat dimanfaatkan dari segi ekonomi, sosial dan kemasyarakatan. Namun, fungsi tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat (Pramudji, 2000).
DAFTAR REFERENSI
Desakuhijau, 2011. Mangrove di Indonesia. Penanaman Mangrove. http://desakuhijau.org/. Diakses tanggal 10 Mei 2018.
Huda, N. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. TESIS. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Onrizal. 2002. Jurnal Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove Dan Alternatif Rehabilitasinya Di Jawa Barat Dan Banten. http:hutan_onrizal.pdf. Diakses tanggal 10 Mei 2018.
Pramudji. 2000. Jurnal Dampak Perilaku Manusia Pada Ekosistem Hutan Mangrove Di Indonesia.http://www.oseanografi.lipi.go.id. Diakses tanggal 10 Mei 2018.
15 Oktober 2013.
Soegianto, Agoes. 2010. Ekologi Perairan Tawar. Surabaya: Airlangga University Press.
Suparinto C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Penerbit: Dahara Prize. Semarang
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Djambatan, Jakarta.
Utomo, dan Sri. 2017. Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Tanggul Tlare Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara. Jurnal Ilmu Lingkungan, (15) : hal. 117-123. Diakses pada 10 Mei 2018.
Zainatun, Anita. 2002. Jurnal Kajian Keberadaan Hutan Mangrove: Peran, Dampak Kerusakan Dan Usaha Konservasi. http: hutan_anita.pdf. Diakses tanggal 10 Mei 2018.
Komentar
Posting Komentar